Kunjungan DPR Pusat,MPR,DPD dan Teror Penembakan di Freeport
Sumber : Kompas.id
Kunjungan pejabat negara ke Freeport ini, diwarnai dengan teror penembakan kembali terjadi di area PT Freeport Indonesia. Teror menyiratkan problem Papua yang belum juga terselesaikan.
Kunjungan ke Freeport merupakan hari terakhir dari dua hari kunjungan kerja pimpinan MPR/DPR/DPD ke Papua, Selasa (3/3/2020) hingga Rabu (4/3/2020). Sebelumnya, mereka ke Jayapura untuk melihat persiapan Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua yang akan digelar pada Oktober mendatang. Mereka juga ke Wamena untuk melihat proses rekonstruksi oleh pemerintah pasca-kerusuhan yang terjadi, akhir September 2019.
Di salah satu hotel di Wamena, pimpinan legislatif itu menandatangani piagam ikrar kebangsaan bersama sejumlah pimpinan daerah. Ikrar itu berisi janji untuk terus berupaya menghadirkan solusi komprehensif bagi masa depan tanah Papua. Solusi dijanjikan berlandaskan keadilan, kesejahteraan, dan kebudayaan.
Kunjungan pimpinan MPR, DPR, dan DPD tersebut dibangga-banggakan karena disebut telah mencetak sejarah. ”Untuk pertama kali, bersama-sama melakukan kunjungan kerja ke berbagai wilayah di Papua,” kata Bambang Susatyo ketua MPR RI

Kunjungan diklaim untuk menunjukkan perhatian wakil rakyat pada Papua. Selain itu, dari kunjungan, mereka berkeinginan menyerap aspirasi masyarakat Papua dalam upaya mencari solusi yang komprehensif bagi persoalan-persoalan Papua. Solusi yang disusun itu kelak akan disampaikan kepada pemerintah.
Namun, sayangnya, selama dua hari kunjungan, tak terlihat para wakil rakyat bertemu langsung masyarakat Papua, apalagi mendengarkan aspirasi mereka. Aspirasi yang diserap hanya dari pejabat-pejabat daerah di lokasi mereka berkunjung.
Hal ini, menurut peneliti pada Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, seperti mengulang kebiasaan kebanyakan kunjungan pejabat pusat selama ini. Sebatas formalitas dan tidak pernah bertemu dan mendengarkan langsung keinginan orang Papua.

Jika memang ingin menyerap aspirasi orang Papua, seharusnya para pejabat pusat menemui langsung masyarakat Papua di tempat mereka tinggal di rumah-rumah adat Papua atau honai.
Baca juga :
Kasus Penembakan di Freeport Juli 2009
Kasus Penembakan di Freeport Agustus 2009
”Rumah adat ini menjadi simbol eksistensi dari masyarakat adat Papua. Dari situ mereka bisa berbicara dari hati ke hati,” ujarnya.
Cahyo menilai, penembakan yang berulang di Freeport dan aksi KKB yang juga berulang di sejumlah tempat lain di Papua sebenarnya wujud dari kekecewaan masyarakat Papua karena suaranya tidak didengar.
Pembangunan yang masif di Papua pasca-Orde Baru, dan kian intensif semasa pemerintahan Presiden Joko Widodo, menurut Cahyo, belum cukup untuk mengobati luka hati orang Papua itu. Apalagi yang mengambil manfaat dari pembangunan tersebut bukan orang Papua. Orang Papua sendiri hanya menjadi penonton.
Kondisi itu justru membuat luka hati orang Papua kian menganga karena dari total Rp 126,99 triliun dana otonomi khusus yang dikucurkan sejak 2002, Papua dan Papua Barat tetap saja masuk provinsi termiskin setiap tahunnya.

Peneliti senior LIPI, Adriana Elisabeth, menekankan, cara paling ampuh menyelesaikan persoalan Papua, termasuk di dalamnya memutus kekerasan, adalah dengan membuka dialog dengan masyarakat Papua.
”Dialog tersebut sebuah pendekatan baru yang harus dilakukan untuk Papua. Setiap persoalan harus diselesaikan tanpa kekerasan,” ujarnya.
Kalau justru pendekatan kekerasan yang ditempuh, yang muncul kemudian hanya kekerasan baru.
”Itu akan menjadi siklus kekerasan yang tak bisa berhenti,” ujarnya.
One thought on “Kunjungan DPR Pusat,MPR,DPD dan Teror Penembakan di Freeport”