Jangan Lupakan Perempuan Papua
Never forget the women of Papua, demikian judul salah satu artikel yang diterbitkan di Koran Kompas edisi 9 Maret 2019.
Di Artikel ini dibahas mengenai bagaimana kondisi wanita Papua dalam hal memperoleh hak nya sebagai manusia yang hidup di republik Indonesia ini sesuai dengaan amanat undang-undang 1945 dan Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Kaum perempuan papua banyak yang tidak memperoleh hak untuk mendapatkan layanan pendidikan dan kesehatan yang memadai.

KOMPAS/TRI AGUNG KRISTANTO (TRA) 26-02-2019
Hal ini terjadi bukan sepenuhnya karena kebijakan pemerintah yang membuat perempuan papua tersisih, tetapi juga karena tradisi di wilayah yang berpenduduk sekitar 3,32 juta jiwa, sesuai data Badan Pusat statistik (BPS) Propinsi Papua, hidup dalam kelompok suku. Situs Pemerintah Papua menuliskan bahwa ada 255 suku asli di daerah Papua, dan sebagian besar suku ini menempatkan kaum laki-laki yang utama. Mengenai posisi wanita di kalangan suku-suku papua, dapat dibaca juga di artikel kami sebelumnya yang berjudul “Suku Fayu di dalam Film Jungle Child“
Perempuan harus bekerja di ladang serta menjaga anak dan ternak. Perempuan tak lebih dari ” hak milik” laki-laki yang bahkan bisa diakui sejak di dalam kandungan ibunya, seperti yang terjadi di suku Korowai yang mendiami dataran danowage di Kabupaten Boven Digul .
Hampir tak ada anak perempuan dari Suku Korowai yang bersekolah di Sekolah Lentera Harapan (SLH) yang dibuka di kawasan itu sejak tiga tahun lalu. Kalau ada anak Perempuan yang bersekolah, mereka adalah anak suku lain,
BACA JUGA :
Wallace Willey Menyelamatkan pendidikan anak Papua
Menurut guru sekolah SLH Donowage Merry K Tobing, anak perempuan dari Suku Korowai memang jarang yang bersekolah, Tak sedikit yang sudah berumah tangga pada usia anak-anak, dengan suami yang berusia jauh lebih tua. Tradisi pada suku ini memang memungkingkan untuk terjadinya perkawinan di usia dini
Lebih lengkap mengenai artikel ini bisa di download di link berikut :